Mendalami Makna "Selamat Tinggal" dari Novel Karya Tere Liye

 


Judul buku: Selamat Tinggal

Penulis: Tere Liye

Penerbit: Gramedia Pustaka  Utama

Tahun terbit: November, 2020

Jumlah Halaman: 360 halaman

Sinopsis:

Kita tidak sempurna. Kita mungkin punya keburukan, melakukan kesalahan, bahkan berbuat jahat, menyakiti orang lain. Tapi beruntunglah yang mau berubah, berjanji tidak melakukannya lagi, memperbaiki dan menebus kesalahan tersebut.

Mari tutup masalalu yang kelam, mari membuka halaman yang baru. Jangan ragu-ragu. Jangan cemas. Tinggalkanlah kebodohan dan ketidakpedulian. “Selamat Tinggal” suka berbohong. “Selamat Tinggal” kecurangan, “Selamat Tinggal” sifat-sifat buruk lainnya.

Karena sejatinya, kita tahu persis apakah kita memang benar-benar bahagia, baik, dan jujur. Sungguh “Selamat Tinggal” kepalsuan hidup.

****

“....menariknya, banyak ibu-ibu yang lebih rela membeli makanan di kedai fast food seharga seratus-dua ratus ribu sekali duduk, untuk besoknya jadi kotoran, tapi tidak rela membeli buku orisional yang harganya sama.”

Penggalan kalimat di atas menurut saya cocok jadi kalimat pembuka ulasan hari ini. Kalimat yang saya pilih untuk mewakili isi buku ini. Kalau kamu mengira buku ini menceritakan kisah cinta penuh drama lewat judulnya, kamu salah besar. Buku ini menceritakan hal yang sedang diperjuangkan para pegiat literasi di Indonesia.

Buku ini bercerita tentang pemuda bernama Sintong Tinggal yang bekerja sebagai penjaga toko buku bajakan. Toko buku “Berkah” namanya. Kalo kata Sintong, “Nggak berkah banget barang yang dijual”. Mengapa begitu? Mahasiswa (abadi) Fakultas Sastra ini menyadari betul bahwa apa yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan. Menjual buku bajakan, yang jelas-jelas ngerugiin banyak pihak. Bukan cuma pihak penerbit, penulisnya nggak dapat apa-apa dari hasil penjualan buku bajakannya. Padahal penulis yang punya ide awal cerita.

Cerita ini berlanjut saat Sintong bertemu dengan Jess. Mahasiswa semester 2 yang sedang semangat-semangatnya ikut banyak kegiatan dan organisasi kampus. Pertemuan Sintong dan Jess di toko buku dan organisasi Pers Kampus membuat dekat keduanya.

Jess seperti menemukan dunia baru karena semua pemikiran Sintong, dan Sintong yang punya semangat lagi untuk menyelesaikan skripsinya yang nunggak hampir dua tahun.

Cerita ini beralur maju-mundur dengan latar belakang tokoh-tokohnya yang terasa relate dan jarang banget diangkat oleh para penulis kebanyakan. Tentang youtuber yang cover lagu penyanyi terkenal, kemudian dapat viewer melebihi video lagu aslinya, atau pemilik website film dan siaran bajakan, penjual tas import kw, penjual buku bajakan di marketplace, hingga penjual obat bajakan. Semuanya disempretin sampai buat saya mikir, “Wehhh,” I don’t know, guys, but this is very realize for me. Relate banget sama isu dan masalah soal pembajakan yang marak banget di Indonesia dan nggak pernah ada ujungnya.

Di samping itu, terdapat sisi yang dibuat ala detektif nan misterius dalam cerita ini. Diceritakan Sintong akhirnya mulai menyusun lagi skripsinya. Tema yang diangkat yaitu tentang menghilangnya jejak seorang penulis bernama Sutan Pane. Sutan Pane di sini merupakan seorang penulis yang terkenal di tahun 1960-an. Sutan Pane dikabarkan menghilang sekitar tahun 1965-an. Beberapa dugaan muncul, apakah Sutan Pane meninggal karena sakit, atau ikut korban pembantaian. Kalian tahu kan, situasi indonesia tahun 65 kayak gimana?

Sintong menjelajah waktu untuk menemukan kembali jejak Sutan Pane. Mulai dari mencari narasumber yang pernah berkaitan dengan Sutan Pane, sampai kliping-kliping berisi tulisan Sutan Pane yang pernah dipublikasikan di media koran saat itu.

Saya mendapatkan sensasi semangat membaca di bagian ini. Saya ikut penasaran, siapa sih sebenarnya Sutan Pane? Apakah dia ada di dunia nyata? Atau itu semua hanya sekedar cerita yang dibuat untuk menghidupkan cerita? Kalian harus tebak sendiri dengan baca bukunya. Imajinasi saya terlalu liar untuk mendeskripsikan keberadaan Sutan Pane yang sesungguhnya.

Perihal narasi cerita, nggak usah diraguin lagi lah ya... gimana cara Tere Liye bercerita udah keren. But, saya ngerasa bosan dan hambar di bab-bab awal cerita. Mungkin ini karena sebelumnya saya mengalami reading slump yang parah banget. Udah sampai di titik buat buka buku aja rasanya udah males nggak ketulungan, apalagi buat baca. Udahlah, gitu. Jadi ini cuma pendapat seorang pembaca yang sedang mencoba mengembalikan mood baca.

Karakter dan penokohannya menurut saya cukup. Nggak begitu menonjol. Karena yang saya tangkep dari narasi dan isi cerita, penulis lebih condong pada tujuan tersirat dari penulisan buku ini, yaitu pembajakan. Dari sini, kita bisa nangkep dengan sangat baik bahwa Tere Liye sedang mengajak kita untuk mengucapkan “Selamat Tinggal” pada yang namanya kebodohan, ketidakpedulian, suka berbohong, berbuat kecurangan, dan kepalsuan hidup.

Gimana? Kalian tertarik buat baca buku ini? Bintang 3,5/5 dari aku buat buku Selamat Tinggal. Pilihan bahasanya yang ringan cocok banget jadi bacaan di tengah masa karantina di rumah aja. Usia 13 tahun udah bisa banget baca buku ini.

Sampai di sini dulu ya review buku kali ini. Next day aku bakal bahas buku lainnya. Stay health and stay safe all.

 


Post a Comment

0 Comments