Ingatan yang Ingin Jadi Kenyataan

 


Pagi ini ingatan saya disapa dengan ingatan yang luar biasa hebat. Ingatan yang ngasih saya kesadaran bahwa saya telah kehilangan mereka. Teman-teman seperjuangan saya: saya kira begitu. Namun, ternyata tidak. Organisasi yang saya ikuti, orang-orang yang ada di dalamnya, yang dulunya saya kira mereka sedang berjuang bersama, tapi itu semua tak lebih dari sebuah rintangan yang harus mereka lewati, kemudian lupakan.

Cerita ini berawal dari organisasi kampus yang saya ikuti. Di sana saya disambut dengan beragam karakter orang yang berbeda. Pemikiran, sifat serta watak yang berbeda. Saya banyak menemukan keberagaman dari sana. Ada mereka yang punya sifat terbuka, saling memaafkan dan pengertian. Namun, banyak juga dari mereka yang punya sifat malas-malasan, bodo amat, egois dan ingin menang sendiri. Hal yang ternyata menjadi biasa ketika kamu bergabung di sebuah organisasi atau forum dengan isi kepala yang beda.

Bagi mereka yang baru mengenal dunia ini, tentunya akan sulit adaptasi. Mereka yang gagal adaptasi dengan cepat, tentunya akan jadi bahan obrolan di tengah kerumunan. Kamu akan dianggap berbeda karena tak kunjung paham dengan isi kepala mereka. Sedangkan mereka dengan sifat bodo amatnya, memintamu untuk segera paham. Padahal kamu sedang berjuang keras untuk jadi teman yang baik untuk mereka.

Kabar baiknya, organisasi ini malah semakin baik. orang-orang yang capable pada bidang organisasi ini akan semakin cemerlang karena mereka terus belajar dan berjuang. Mereka yang sedang adaptasi akan semakin menemukan tingkat kedewasaan mereka, dan paham isi kepala teman-temannya. Namun, mereka yang merasa berjuang paling keras, akan merasa sendirian, capek dan ingin semuanya segera usai. Padahal, diantaranya mereka, ada orang yang hanya ingin belajar, berjuang sekaligus berteman. Berjuang untuk jadi teman (saya hanya ingin tiga hal itu).

Kenyataannya tidak mudah, kawan. Setelah organisasi itu berakhir, lebih tepatnya masa jabatan mereka habis, mereka yang telah berjuang sedang mencoba melupakan semuanya. Capeknya mereka, sakitnya mereka, lelahnya mereka. Bahkan mereka melupakan orang-orangnya. Orang-orang yang bahkan diam-diam selalu berdoa agar pertemanan mereka bisa disambung selepas purna.

Grup chat yang dulu sering didebatkan karena terlalu ramai dengan permintaan “Jangan telat - Kalau nggak dateng, bilang ke ketuplak - Rabes, guys - Ayo, rabesnya mau dimulai ini - Woy, cepetan - ini yang mau ngerjain siapa?” Sekarang hanya sisa kumpulan nomor saja. Masih ada yang mau muncul untuk sekedar menjawab pertanyaan itu sudah bagus. Namun, bagi hati yang masih menyisakan luka, bagi pemilik ingatan yang menyakitkan, grup chat itu harus segera diarsipkan. Saya ikut tim yang suka mengarsipkan grup-grup chat itu.

Kali ini saya setuju dengan kutipan di buku Tere Liye “Selamat tinggal” yang katanya: “Waktu adalah penyembuh segala hal.” Tidak ada banyak hal yang bisa diharapkan dari fenomena ini. Selain menunggu waktu menyembuhkan luka mereka, agar kami bisa berkumpul tanpa rasa canggung lagi. Sembari berjuang memperbaiki hidup, mari berjuang menerima dan memaafkan banyak hal. Karena tanpa disadari, saya banyak melakukan kesalahan pada mereka. Fase sulitnya saya beradaptasi pada saat itu mungkin memberikan efek toxic pada mereka. Atau bisa jadi, saya bagian dari hal yang sedang mereka lupakan.

Tak apa, karena memang tak ada orang yang bisa luput dari salah. Namun, satu hal yang ingin saya sampaikan: “terima kasih. Saya telah banyak berproses dan jadi lebih baik. Mari bertemu lagi, dan saling memaafkan.” Sampai jumpa.


13 Juni 2021


Post a Comment

0 Comments