Penulis: Hamka
Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya
ISBN 978-623-221-686-0
Edisi Elektronik, 2020
“Suku tidak dapat
dialih, malu tidak dapat dibagi”
“Setinggi-tinggi melambung akan jatuh ke tanah jua.”
Dua peribahasa itu aku dapati dari buku klasik yang
pertama kali diterbitkan tahun 1941, berjudul Merantau ke Deli. Buku ini
merupakan karya dari Prof. DR. H. Abdul Malik Karin Amrullah (Hamka) yang berawal dari sebuah cerita bersambung, diterbitkan
di majalah “Pedoman Masyarakat” pada 1936, baru kemudian disatukan dalam
bentuk buku oleh penerbit Cerdas Medan.
Buku ini berkisah tentang seorang muda-mudi jawa yang
merantau ke Deli. Mereka menjadi kuli kontrak di sebuah perkebunan sawit. Di
antara kuli-kuli kontrak itu, jika mereka seorang gadis cantik, mereka akan
menjadi gundik (istri siri) mandor besar atau bisa juga menjadi nyai (istri
sah) dari mandor besar atau pemilik perkebunan. Di antara nyai dan gundik-gundik
para mandor, ada Poniem salah satunya. Gadis cantik dari Ponorogo yang telah ditipu
akan dinikahi, ternyata dibawa ke Deli dan berakhir menjadi kuli.
Di suatu hari Poniem mendapati seorang pedagang rantau dari
tanah padang, berniat menjadikannya istri, Leman namanya. Tentunya karena
kecantikan Poniem-lah yang membuat Leman jatuh hati padanya. Poniem tentu
menolak, karena dia tahu tabiat laki-laki seperti apa yang menginginkan
dirinya. Dia sudah pernah menikah dan dia pikir menjadi gundik lebih enak dan
lebih aman tentunya. Tidak akan ada yang menganggunya karena dia milik mandor
besar.
Namun, dengan segala usaha Leman, juga ketulusan yang ia tunjukkan,
Poniem menerimanya. Poniem tinggalkan semua kenyamanan yang ia dapatkan dari
mandor besar, pergi menjauh dari kota Deli ke kota lainnya untuk membangun
semuanya dari awal.
Namun, kapal bernama pernikahan tak selancar itu lajunya.
Akan ada badai besar, belum lagi adat yang memang sudah berbeda sejak awal.
Jika adat jawa, rumah tangga adalah hidup bersama, memikul tanggung jawab bersama.
Namun, berbeda dengan adat minangkabau dimana hanya pihak laki-laki yang
banting tulang, pihak perempuan hanya terima beres saja. Belum lagi keluarga
besar yang akan tetap jadi bagian yang harus kebagian juga (hartanya).
Buku ini memang menonjolkan sisi budaya dan adat istiadat
yang begitu kental. Budaya orang-orang jawa yang merantau ke Deli untuk sekedar
menyambung hidup, budaya *Punale Sanctie yang dulu begitu mengikat para
kuli-kuli kontrak itu, dan budaya orang jawa yang dianggap sebagai “orang lain”
jika diperistri oleh seorang keturunan minangkabau. Itu semua dulu, jauh
Indonesia mendapatkan kemerdekaaanya.
Sampai di sini apakah kalian tau dimana itu Deli? Saat aku
pertama kali liat judul buku ini, aku kira Deli merupakan sebuah kota di negara
India sana. Ternyata, bukan. Deli merupakan bagian dari Sumatra Utara yang kini
menjadi Kabupaten Deli Serdang. Jika kamu cek di Wikipedia, kamu akan menemukan
asal usul penghuni dari kota ini, yaitu yang didominasi Melayu dan Jawa.
Diceritakan oleh Hamka dalam buku melalui halaman Prakata,
bahwa cerita ini memang terinspirasi dari budaya yang ada di sana. Budaya
merantau ke Deli dan menjadi kuli-kuli kontak perkebunan. Jadi saat kamu
membaca ini, rasanya seperti membaca sejarah dengan intrik kisah roman pada
masanya.
Sayangnya, alih media berupa e-book tidak diikuti dengan
perbaikan tata bahasanya. Terdapat banyak imbuhan yang seharusnya dipisah tapi
digabung. Juga tipo yang seharusnya bisa diperbaiki lagi. Walaupun begitu,
karakter kuat dari para tokohnya, terutama Leman, Poniem, khususnya para
perempuan-perempuan minangkabau yang membuat cerita ini semakin kental terasa
budayanya.
Adat yang begitu kental sampai berhasil membuat Leman goyah
dengan keputusannya menikahi seorang wanita jawa. Akankah pernikahan mereka
bertahan sampai maut memisahkan mereka? Tidak akan tau jawabannya kalau kamu
tidak membacanya. Aku sendiri dibuat kesal dengan Leman yang tak bisa teguh
pada pendiriannya.
Meskipun buku ini terbitan lama, seperti yang aku bilang,
buku ini sudah dialih mediakan berupa e-book, dengan cover yang ciamik tentunya.
kalian bisa membacanya di Ipusnas. Happy Reading...
*Punale Sanctie atau Pidana sanksi yaitu sebuah sanksi hukum pukulan dan kurungan badan yang dijalankan oleh Kolonial Belanda yang berlaku d Suriname dan Hindia Belanda (Wikipedia).
0 Comments